3 Agu 2011

Sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan mengikuti Kitab dan Sunnahdengan pemahaman Salaful Ummah. Tapi kita tidak mungkin mendengar sunnahdan pemahaman mereka kecuali dengan melalui sanad (rantai para rawi). Dan sanad termasuk dalam Dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil Dienkalian. Sedangkan yang paling mengerti tentang sanad adalah Ashabulhadits.Maka dalam tulisan ini kita akan lihat betapa tingginya kedudukan mereka. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihiwa Sallam bersabda : “Allah membuat cerah (muka) seorang yang mendengarkan (hadits) darikami, kemudian menyampaikannya.” (HaditsShahih, H.R. Ahmad, Abu Dawud) Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzahullah berkata : “Hadits ini adalah Shahih, diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam Musnad5/183,Imam Abu Dawud dalam As Sunan 3/322, Imam Tirmidzi dalam As Sunan 5/33, Imam Ibnu Majah dalam As Sunan 1/84, Imam Ad Darimi dalam As Sunan 1/86, ImamIbnu Abi Ashim dalam As Sunan 1/45, Ibnul Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fabhilihi 1/38-39, lihat As Shahihah oleh Al ‘Alamah Al Albani (404) yang diriwayatkan dari banyak jalan sampai kepada Zaid bin Tsabit, Jubair bin Muth’im dan Abdullah Bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu” Hadits ini dinukil oleh Beliau(Syaikh Rabi’) dalam kitab kecil yang berjudul Makanatu Ahlil Hadits (Kedudukan Ahli Hadits), yaitu ketika menukil ucapan Imam besar Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Khatib Al Baghdadi (wafat 463 H) dari kitabnya Syarafu Ashabil Hadits yang artinya “Kemuliaan Ashabul Hadits.” Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan kemuliaan dan ketinggian derajat Ahlul Hadits. Demikian pula beliau juga menjelaskan jasa-jasa mereka dan usaha mereka dalam membela Dien ini, serta menjaganya dari berbagai macam bid’ah. Diantara pujian beliau kepada mereka, beliau mengatakan : “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan golongannya (Ahlul Hadits) sebagai tonggak syariat. Melalui usaha mereka, Dia (Allah) menghancurkan setiap keburukan bid’ah. Merekalah kepercayaan Allah Subhanahu wa Ta’ala diantara makhluk-makhluk-Nya, sebagai perantara antara Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan umatnya. Dan merekalah yang bersungguh-sungguh dalam menjaga millah (Dien)-Nya. Cahaya mereka terang, keutamaan mereka merata, tanda-tanda merekajelas, madzhab mereka unggul, hujjah mereka tegas. .” Setelah mengutip hadits di atas, Al Khatib rahimahullahmenukil ucapan Sufyan Bin Uyainah rahimahullah dengan sanadnya bahwa dia mengatakan : “Tidak seorangpun mencari hadits (mempelajari hadits) kecualipada mukanya ada kecerahan karena ucapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam : (Kemudian menyebutkan hadits di atas). Kemudian, setelah meriwayatkan hadits-hadits tentang wasiat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallamuntuk memuliakan Ashabul Hadits, Beliau meriwayatkanhadits berikut : “Islam dimulai dengan keasingan dan akan kembali asing,maka berbahagialah orang-orang yang (dianggap) asing.” (H.R. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnul Majah) Syaikh Rabi’ berkata : “Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya 1/130, Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/398, Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya 5/19, Imam Ibnu Majah dalam Sunnah-nya 2/1319, dan Imam Ad Darimi dalam Sunan-nya 2/402.” Setelah meriwayatkan haditsini, Al Khatib menukil ucapan Abdan rahimahullah dari Abu Hurairah dan Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu : “Mereka adalah Ashabulhadits yang pertama.” Kemudian meriwayatkan hadits : “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian firqah, semuanya dalam neraka kecuali satu.” Syaikh Rabi’ berkata : “Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 2/332. Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/197, dan Hakim dalam Al Mustadrak 1/128. Lihat Ash Shahihah oleh Syaikh kita Al ‘Alamah Al Albani (203).” Beliau (Al Khatib) kemudianmengucapkan dengan sanadnya sampai ke Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bahwa dia berkata : “Tentang golongan yang selamat, kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu siapa mereka.” (Hal. 13, Syaraful Ashhabil Hadits oleh Al Khatib). Kemudian Syaikh Al Khatib menyebutkan hadits tentangThaifah yang selalu tegak dengan kebenaran : “Akan tetap ada sekelompokdari umatku di atas kebenaran. Tidak merugikanmereka orang-orang yang mengacuhkan (membiarkan,tidak menolong)mereka sampai datangnya hari kiamat.” (H.R. Muslim, Ahmad,Abu Dawud) Syaikh Rabi’ berkata : “Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya 3/1523, Imam Ahmad dalamMusnad 5/278-279, Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/420, Imam Ibnu Majah dalam Sunan 1/4-5, Hakim dalam Mustadrak 4/449-450, Thabrani dalam Mu’jamul kabir 76643, dan Ath Thayalisi dalam Musnadhalaman 94 no.689. lihat Ash Shahihah oleh Al ‘Alamah Al Abani 270-1955.” Kemudian berkata (Al Khatib Al Baghdadi) : Yazid bin Harun berkata : “Kalau mereka bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu siapa mereka.” Setelah itu beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Mubarak, dia berkata : “Mereka menurutku adalah Ashabul Hadits.” Kemudian meriwayatkan juga dengan sanadnya dari Imam Ahmad bin Sinan dan Ali Ibnul Madini bahwa mereka berkata : “Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadits, Ahli Ilmu dan Atsar” (Hal. 14 – 15) Demikianlah para ulama mengatakan bahwa Firqah Naajiah (golongan yang selamat) yaitu golongan yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong (Thaifah Manshurah), yaitu orang-orang yang asing(Ghuraba’)di tengah-tengah kaum Muslimin yang sudah tercemar dengan berbagai macam bid’ah dan penyelewengan dari Manhaj As Sunnah dan Ashabul Hadits. Siapakah Ashabul Hadits ? Hadits yang pertama yang kita sebutkan menunjukkan ciri khas Ashabul Hadits, yaitu mendengarkan Hadits kemudian menyampaikannya. Dengan demikian, mereka bisa kita katakan sebagai para ulama yang mempelajari Hadits, memahami sanad, meneliti mana yang Shahih mana yang Dha’if, kemudian mengamalkannya dan menyampaikannya. Merekalah pembela As Sunnah, pemelihara Dien dan pewaris Nabi Shalallahu‘Alaihi wa Sallam serta Rasulullah Shalallahu ‘Alaihiwa Sallam tidak mewariskandinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu yang kemudian dibawa Ahlulhadits ini. Seorang ahlifiqih tanpa ilmu hadits adalah Aqlani (rasionalis) dan Ahli tafsir tanpa ilmu hadits adalah ahli takwil. Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (wafat 276 H) berkata : “.Adapun Ashabul Hadits, sesunggguhnya mereka mencari kebenaran dari sisi yang benar dan mengikutinya dari tempatnya. Mereka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengikuti sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam serta mencari jejak-jejak dan berita-beritanya (Hadits), baik itu di darat dan di laut,di Barat maupun di Timur. Salah seorang dari mereka bahkan mengadakan perjalanan jauh dengan berjalan kaki hanya untuk mencari berita atau satu hadits, agar dia mengambilnya langsung daripenukilnya (secara dialog langsung). Mereka terus membahas dan menyaring berita-berita (riwayat-riwayat) tersebut sampai mereka memahami mana yang shahih dan manayang lemah, yang nasikh dan yang manshuk, dan mengetahui dari kalangan fuqaha’ yang menyelisihi berita-berita tersebut dengan pendapatnya (ra’yu-nya), lalu memperingatkan mereka. Dengan demikian, Al Haq yang tadinya redup kembali bercahaya, yang tadinya kusam menjadi cerah, yang tadinya berceraiberai menjadi terkumpul. Demikian pula orang-orang yang tadinya menjauh dari sunnah, menjadi terikat dengannya, yang tadinya lalai menjadi ingat kepadanya, dan yang dulunya berhukum dengan ucapan fulan bin fulan menjadi berhukum dengan ucapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam” (Ta’wil Mukhtalafil Haditsdalam Muqaddimah) Imam Abu Hatim Muhammad Ibnun Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad bin Said At Tamimi (wafat 354 H) berkata : “.Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih sekelompok manusia dari kalangan pengikut jalan yang baik dalam mengikuti sunnah danatsar untuk memberi petunjuk kepada mereka agar selalu taat kepada-Nya. Allah indahkan hati-hati mereka dan memberikan pada lisan-lisan mereka Al Bayan (keterangan), yaitu mereka yang menyingkap rambu-rambu Dien-Nya, mengikuti sunnah-sunnah Rasul-Nya dengan menelusuri jalan-jalan yang panjang, meningggalkan keluarga dan negerinya, untuk mengumpulkan sunnah-sunnah dan menolakhawa nafsu (bid’ah). Mereka mendalami sunnah dengan menjauhi ra’yu..”. Pada akhirnya beliau mengatakan : “Hingga AllahSubhanahu wa Ta’ala memelihara Dien ini lewat mereka untuk kaum Muslimin dan melindunginyadari rongrongan para pencela. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka sebagai imam-imam (panutan-panutan) yang mendapatkan petunjuk di saat terjadi perselisihan danmenjadikan mereka sebagai pelita malam di saat terjadi fitnah. Maka merekalah pewaris-pewaris para Nabi dan orang-orang pilihan..” (Al Ihsan 1/20-23) Imam Abu Muhammad Al Hasan Ibnu Abdurrahman bin Khalad Ar Ramhurmuzi (wafat 360 H) berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’alatelah memuliakan Hadits dan memuliakan golongannya (Ahlul Hadits).Allah Subhanahu wa Ta’ala juga meninggikan kedudukannya dan hukumnya di atas seluruh aliran. Didahulukannya dia (Hadits) diatas semua ilmu serta diangkatnya nama-nama para pembawanya yang memperhatikannya. Maka jadilah mereka (Ahlul Hadits) inti agama dan tempat bercahayanya hujjah. Bagaimana mereka tidak mendapatkan keutamaan dan tidak berhakmendapatkan kedudukan yang tinggi, sedangkan mereka adalah penjaga-penjaga Dien ini atas umatnya.” (Al Muhadditsul Fashil 1-4). Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al Hakim An Nisaburi (wafat 405 H) berkata setelah meriwayatkan dengan sanadnya dua ucapan tentang Ahlul Hadits (yang artinya) : Umar bin Hafs binGhayyats berkata : Aku mendengar ayahku ketika dikatakan kepadanya : “Tidaklah engkau melihat Ashabul Hadits dan apa yang ada pada mereka ?” Dia berkata : “Mereka sebaik-baik penduduk bumi”dan riwayat dari Abu bakarbin Ayyash : “Sungguh aku berharap AhliHadits adalah sebaik-baik manusia. ” kemudian beliau (Abu Abdullah Al Hakim) berkata : “Keduanya telah benar bahwa Ashabul Haditsadalah sebaik baik manusia. Bagaimana tidak demikian? Mereka telah mengorbankandunia seluruhnya di belakang mereka . Kemudianmenjadikan penulisan sebagai makanan mereka, penelitian sebagai hidangan mereka, mengulang-ulang sebagai istirahat mereka..” Dan akhirnya beliau mengatakan : “Maka akal-akal mereka dipenuhi dengan kelezatan kepada sunnah. Hati-hati mereka diramaikan dengan keridhaan dalam berbagai keadaan. Kebahagiaan mereka adalah mempelajari sunnah. Hobi mereka adalahmajelis-majelis ilmu. Saudara mereka adalah seluruh Ahlus Sunnah dan musuh mereka adalah seluruh Ahlul Ilhad dan Ahlul Bid’ah.” (Ma’rifatu Ulumul Hadits 1-4) Berkata Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali tentang Ashabul Hadits : “Mereka adalah orang-orang yang menjalani manhaj para sahabat dan tabi’in, yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam berpegang dalam kitab dan sunnah, dan menggigit keduanya dengan geraham meerka, mendahulukan keduanya da atas semua ucapan dan petunjuk, apakah itu dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, politik, ataukah sosial. Oleh sebab itu , mereka adalah orang-orang yang mantap dalam dasar-dasar dan cabang-cabang Dien ini,sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dan wahyukan kepada Rasul-Nya Shalallahu‘Alaihi wa Sallam Mereka tegak dalam dakwah, mengajak kepada yang demikian dengan sungguh-sungguh dan jujur dengan tekad yang kuat. Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallamdan membersihkannya dari penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, dari kedustaan orang-orang yangbathil dan dari takwilnya orang-orang yang bodoh . Oleh karena itu mereka selalu mengintai, memperhatikan setiap firqah-firqah yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah, Murji’ah, Qadariyyah, dan setiap firqaah yang menyempal dari manhaj Allah di setiap jaman dan setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan celaan orang-orang yang mencela..” Beliau pun akhirnya menyebut mereka dengan sebutan golongan yang selamat (Firqatun Naajiah) yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Thaifah Manshurah) kemudian berkata : “Merekasetelah sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallamdengan pimpinan mereka, AlKhulafaur Rasyidin, adalah para tabi’in. Diantara tokoh-tokoh mereka adalah : Sa’id bin Musayyab (wafat setelah 90 H) Urwah bin Zubair(wafat 94 H) Ali bin Husain Zainal Abidin (wafat93 H) Muhammad Ibnul Hanafiyyah (wafat80 H0 Ubaidillah bin Abdullah bin Umar (wafat 106 H) Al Qasim bin Muhammad bin Muhammad bin abu bakar Ash Shiddiq (wafat 106 H) Al Hasan Al Bashri (wafat 110 h) Muhammad bin Sirrin (wafat 110 H) Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H0 Muhammad bin Syihab Az Zuhri (wafat 125 H) dan lain lain Kemudian diantara tabi’ut tabi’in (pengikut tabi’in) tokoh-tokoh mereka adalah : Imam Malik (wafat 179 H) Al Auza’i (wafat 198 H) Sufyan Ats Tsauri (wafat 161 H) Sufyan bin Uyainah (wafat198 H) Ismail bin Ulayyah (wafat 198 H) Al Laits bin Sa’d (wafat 175H) Abu Hanifah An Nu’man (wafat 150 H) dan lain-lain. Setelah tabiut tabi’in adalahpengikut mereka, diantaranya : Abdullah ibnu mubarak (wafat 181 H) Waqi’ bin Jarrah (wafat 197 H) Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (wafat 204 H) Abdurrahman bin Mahdi (198 H) Yahya bin Said Al Qattan (wafat 198 H) Affan bin Muslim (wafat 219 H) dan lain-lain. Kemudian pengikut mereka yang menjalani manhaj mereka diantaranya : Imam Ahmad bin Hambal (wafat 241 H) Yahya bin Main (wafat 233 H) Ali Ibnul Madini (wafat 234 H), dan lain-lain. Kemudian murid-murid mereka seperti : Al Bukhari (wafat 256 H) Muslim (wafat 261 H) Abu Hatim (wafat 277 H) Abu Zur’ah (wafat 264 H) Abu Dawud (wafat 275 H) At Tirmidzi (wafat 279 H) An Nasa’I (wafat 303 H), dan lain-lain. Setelah itu orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah : Ibnu Jarir At Thabari (wafat310 H) Ibnul Khuzaimah (wafat 311H) Ad Daruquthni (wafat 385 H) Ibnul Abdil Barr (wafat 463 H) Abdul Ghani Al Maqdisi sdanIbnul Qudamah (wafat 620 H) Ibnu Shalih (wafat 743 H) Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) Al Muzzi (wafat 743 H) Adz Dzahabi (wafat 748 H) Ibnu Katsir (wafat 774 H) Dan ulama yang seangkatan di zaman mereka. Kemudian yang setelahnya yang mengikuti jejak mereka dalam berpegang dengan kitab dan sunnah sampai hari ini. Mereka itulah yang kita sebut dengan Ashabul Hadits. PEMBELAAN MEREKA TERHADAP AQIDAH Sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka adalah pembawa ilmu dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihiwa Sallam Mereka membelanya dan membersihkannya dari penyelewengan, kedustaan dan takwil-takwil ahli bid’ah Maka, ketika muncul ahli bid’ah yang pertama, yaitu Khawarij, Ali dan para Sahabat radhiallahu anhum bangkit membantah mereka,kemudian memerangi mereka dan mengambil dari Rasululah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam riwayat-riwayat yang menyuruh unntuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa membunuh mereka adalah sebaik-baik pendekatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (Lihat Mawaqifush Shahabah fi Fitnah Bab 3 Juz 2 hal 191 oleh Dr. Muhammad Ahmazun) Ketika Syiah muncul, Ali Radhiallahu ‘Anhu mencambuk orang-orang yang mengatakan dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar dengan delapan puluh kali cambukan. Dan orang-orangekstrim di kalangan mereka yang mengangkat Ali Radhiallahu ‘Anhu sampai kepada tingkatan Uluhiyyah (ketuhanan), dibakar deengan api. (Lihat Fatawa Syaikhul Islam) Demikian pula ketika sampaikepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu berita tentang suatu kaum yamg menafikan (menolak) takdir dan mengatakan bahwa menurut mereka perkara ini terjadi begitu saja (kebetulan), beliau mengatakan kepada pembawa berita tersebut : “Jika engkau bertemu mereka, khabarkanlah pada mereka bahwa aku berlepas diri (bara’) dari meerka danmereka berlepas diri dariku! Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau salah seorang mereka memiliki emas segunung uhud, kemudian diinfaqkan di jalanAllah, Allah tidak akan menerima daripadanya sampai dia beriman dedngantaqdir baik dan buruknya.” (H.R. Muslim 1/36) Imam Malik pun ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, maka beliau berkata : “Dia menurut pendapat adalah kafir, bunuhlah dia !” Juga Ibnul Mubarak, Al Laits bin Sa’ad, Ibnun Uyainah, Hasyim, Ali bin Ashim, Hafsbin Ghayats maupun Waqi bin Jarrah sependapat dengannya. Pendapat yang seperti ini juga diriwayatkandari Imam Tsauri, Wahab bin Jarir dan Yazid bin Harun. (Mereka semua mengatakan) : Orang-orang itu diminta untuk taubat, kalau tidak mau dipenggal kepala mereka. (Syarah Ushul I’tikad 494, Khalqu Af’alil Ibad hal 25, Asy’ariyah oleh Al Ajuri hal.79, dan Syarhus Sunnah/ AlBaghawi 1/187) Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi, sahabat Imam Syafi’i, berkata : “Ketika Haf Al Fardi mengajak bicara Imam Syafi’i dan ia mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, maka Imam berkata kepadanya : “Engkau telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung.” Imam Malik pernah ditanya tentang bagaimana istiwa’ Allah di atas ‘Arsy-Nya, maka dia mengatakan : “Istiwa’ sudah diketahui (maknanya), sedangkan bagaimananya tidak diketahui. Dan pertanyaan tentang itu adalah bid’ah dan aku tidak melihatmu kecuali Ahli Bid’ah !” Kemudian (orang yang bertanya tentang itu) diperintahkan untuk keluar dan Beliau menegaskan bahwa sesungguhnya Allah itu di langit. Dan beliau pernah mengeluarkan seseorang dari majelisnya karena dia seorang Murji’ah. (Syarah Ushul I’tiqad 664) Said bin Amir berkata : “Al Jahmiyyah lebih jelek ucapannya daripada Yahudi dan Nashrani dan seluruh penganut agama (samawi), telah sepakat bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala di atas Arsy-Nya, tapi mereka (Al Jahmiyyah) mengatakan tidak ada sesuatu pun di atas Arsy.” (Khalqu Af’alil Ibad Hal. 15) Ibnul Mubarak berkata : “Kami tidak mengatakan seperti ucapan Jahmiyyah bahwa Dia (Allah) itu di bumi. Tetapi (kami katakan)Allah di atas Arsy-Nya ber-istiwa’.” Ketika ditanyakan kepadanya : “Bagaimana kita mengenali Rabb kita ?” Beliau berkata: “Di atas Arsy.Sesungguhnya kami bisa mengisahkan ucapan Yahudi dan Nashrani, tapi kami tidak mampu untuk mengisahkan ucapan Jahmiyyah.” (Khalqu Af’alil Ibad / Bukhari hal. 15 As Sunnah /Abdullah bin Ahmad bin Hambal 1/111 dan Radd Alal Jahmiyyah / Ad Darimi hal. 21 dan 184) Imam Bukhari berkata : “Aku telah melihat ucapan Yahudi, Nashara dan Majusi. Tetapi aku tidak melihat yang lebih sesat dalam kekufuran selain mereka (Jahmiyyah) dan sesungguhnya aku menganggap bodoh siapa yang tidak mengkafirkan mereka kecuali yang tidak mengetahui kekufuran mereka.” (Khalqu Af’alil Ibad hal. 19) Dikeluarkan oleh Baihaqi dengan sanad yang baik dariAl Auza’i bahwa dia berkata: “Kami dan seluruh tabi’in mengatakan bahwa sesungguhnya Allah di atas Arsy-Nya dan kami beriman dengan sifat-sifat yang diriwayatkan dalam sunnah.” Abul Qasim menyebutkan sanadnya sampai ke Muhammad bin Hasan Asy Syaibani bahwa dia berkata: “Seluruh fuqaha’ (ulama) di timur dan di barat telah sepakat atas keimanan kepada Al Qur’an dan Al Hadits yang dibawa oleh rawi-rawi yang tsiqqah (terpecaya) dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallamtentang sifat-sifat Rabb Subhanahu wa Ta’ala tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa tafsir (takwil). Barangsiapa menafsirkan sesuatu daripadanya dan mengucapkan seperti ucapanJahm (bin Sofyan), maka dia telah keluar dari apa yamg ada di atasnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihiwa Sallam dan para sahabatnya, dan dia telah memisahkan diri dari Al Jama’ah karena telah mensifati Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat yangtidak ada.” (Syarah Usul I’tiqad ahlus Sunnah 740) Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Manaqib Syafi’idari Yunus bin Abdul A’la : Aku mendengar Imam Syafi’i berkata : “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak seorangpun bisa menolaknya. Barangsiapa yang menyelisihinya setelah tetap (jelas) baginya hujjah,maka dia telah kafir. Adapun jika (menyelisihinya) sebelum tegaknya hujjah, maka dia dimaklumi karena bodoh. Karena ilmu tentangnya tidak bisa dicapai dengan akal dan mimpi. Tidak pula dengan pemikiran. Oleh sebab itu, kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikkan tasybih sebagaimana Allah menafikkan dari dirinya sendiri.” (Lihat Fathul Bari 13/406-407) Abu Isa Muhammad bin Isa At Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits tentang Allah menerima sedekah dengan tangan kanannya (muttafaqun alaih), katanya : “Tidak hanya satu dari Ahli Ilmu (ulama) yang telah berkata tentang hadits ini dan yang mirip dengan ini dari riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah seperti turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala setiap malam ke langit dunia. Mereka semua mengatakan : Telah tetap riwayat-riwayat tentangnya ,diimani dengannya , tidak menduga-duga dan tidak mengatakan “bagaimana”. Demikian pula ucapan seluruh Ahli Ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Demikianlah contoh ucapan-ucapan mereka dalam menjaga dan membela aqidah ini yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Al Khatib Al Baghdadi rahimahullah menukil dari Abu Hatim dari Abdullah binDawud Al Khuraibi bahwa Ashabul Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah kepercayaan Allah atas Dien-Nya dan penjaga-penjaga atas sunnah Nabi-Nya, selama mereka berilmu dan beramal. Ditegaskan oleh Imam Ats Tsauri Rahimahullah : “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia.” Ibnu Zura’i juga mengatakan : “Setiap Dien memiliki pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ashabul Hadits).” Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid’ah yang dan sesat, baik itu fuqaha’ (ahli fikih) mereka, mufassir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi merekadengan amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari ini dirasakan manfaatnya oleh kaum Muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis,riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa. Akhirnya, marilah kita simakperkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini : “Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka seakan-akan aku melihat Nabi hidup kembali.” (Syaraf Ashabul Hadits hal. 26) Wahai Rabb kami, ampunilahkami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman daripada kami. Danjanganlah Engkau jadikan dihati kami kebencian atau kedengkian kepada mereka. Wahai Rabb kami, sesunggguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Amien Ya Rabbal ‘Alamin.
Sepeninggal Rasulullah tidakada seorangpun yang ma’sum (terbebas dari kesalahan). Begitu pula orang alim ; dia pun tidak akan lepas dari kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahannya itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya. Dan tidak boleh kesalahannya itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir [Peringatan kepada khalayakagar menjauhi seseorang. Biasanya dengan mebeberkan aib dan kesalahan orang tersebut. –pent.] terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang sedikit itu dima’afkan dengan banyaknya kebenaran yang dia miliki. Apabila ada ulama yang telah meninggal ternyata salah pendapatnya, maka hendaknya kita tetap memanfaatkan ilmunya, tetapi jangan mengikuti pendapatnya yang salah, dantetap mendo’akan serta mengharap kepada Allah agar mencurahkan rahmat kepadanya. Adapun bila orang yang pendapatnya salah itu masih hidup, apakah dia seorang ulama atau sekedar penuntut ilmu,maka kita ingatkan kesalahannya itu dengan lembut dengan harapan dia bisa mengetahui kesalahannya sehingga dia kembali kepada kebenaran. Ulama yang telah wafat yang memiliki kesalah dalammasalah akidah adalah Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Meskipun demikian, ulama dan para penuntut ilmu tetap memanfaatkan ilmunya. Bahkan, karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi orang-orang yang bergelut dalam bidang ilmu-ilmu agama. Tentang Al-Baihaqi, Adz-Dzahabi memberi komentar dalam kitab As-Siyar (XVIII/163 dan seterusnya), Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang penghafal hadits, sangat tinggi ilmunya, teguh pendirian, ahli hukumdan tuan guru umat Islam”. Adz-Dzahabi menambahkan, “Beliau adalah orang diberkahi ilmunya, dan mempunyai karya-karya yang bermanfaat”. Ditambahkan pula, “Beliau pergi ke luar dari negerinya dalam rangka mengumpulkan hadits dan membuat karya tulis. Beliaumengarang kitab As-Sunan Al-Kubra dalam sepuluh jilid. Tidak ada orang yang menandingi beliau”. Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa Al-Baihaqi memiliki karya-karya tulisan lainnya yang sangat banyak. Kitabnya As-Sunan Al-Kubra telah dicetak dalam sepuluh jilid tebal. Dia menukil perkataanAl-Hafizh Abdul Ghafir bin Ismail tentang Al-Baihaqi. Katanya , “Karya-karya beliau hampir mencapai seribu juz (jilid). Suatu prestasi yang belum ada serorangpun yang menandingi. Beliau membuat metode penggabungan ilmu hadits dan fikih, penjelasan tentang sebab-sebab cacatnya sebuah hadits, serta cara menggabungkan antara hadits yang terlihat saling bertentangan”. Imam Adz-Dzahabi juga berkata, “Karya-karya Al-Baihaqi sangat besar nilainya, sangat luas faedahnya. Amat sedikit orang yang mampu mempunyai karya tulis seperti beliau. Sudah selayaknya para ulama memperhatikan karya-karya beliau, terutama kitabnya yang berjudul As-Sunan Al-Kubra”. Adapun tentang An-Nawawi, Adz-Dzahabi mengomentarinya dalam kitab Tadzkirah Al-Huffaz (IV/259). Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang imam, penghafal hadits yang ulung, teladan bagi ummat, tuan guru umat Islam, dan penghulu para wali. Beliau memiliki karya-karya yang bermanfaat”. Ditambahkan pula, “Beliau juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam memegang teguh agamanya,sangat menjaga sifat wara’ dan sangat berhati-hati sampai pada perkara yang remeh sekalipun, selalu membersihkan jiwa dari noda dan kotoran. Beliau adalah seorang penghapal hadits dan ahli dalam segalacabang-cabang ilmu hadits ;ilmu tentang periwayatan hadits, ilmu untuk mengetahui hadits yang shahih dan yang dha’f ; begitu juga ilmu tentang cacat-cacat hadits. Beliau juga seorang tokoh terkemuka yang mengetahuimadzhab (Syafi’i)”. Ibnu Katsir mengatakan dalam Al-Bidayah Wa An-Nihayah(XVII/540), “Kemudian beliau memfokuskan perhatian kepada tulis menulis. Banyak karya tulis yang telah dibuat beliau. Karya-karya beliau ada yang sudahselesai dan utuh, namun adapula yan belum. Karya-karyabeliau yang sudah selesai dan utuh diantaranya : Syarah Musli, Ar-Raudah, Al-Minhaj, Riyadush Shalihin, Al-Adzkar, At-Tibyan, Tahrir At-Tanbih wa Tashhihih, Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, Thabaqat Al-Fuqaha dan yang lain-lain. Adapun kitab-kitab beliau yang belum selesai penulisannya di antaranya adalah kitab Syarah Al-Muhadzdzab yang dinamakan Al-Majmu’. Kitabini seandainya bisa beliau selesaikan niscaya menjadi kitab yang tiada bandingnya. Pembasahan kitab ini baru sampai pada bab riba. Beliau menulis kitab tersebut dengan sangat baik. Dibahasnya di kitab tersebut masalah fikihyang ada dalam madzhabnyamaupun yang di luar madzhabnya. Beliau juga membahas hadits-hadits sebagaimana mestinya ; diterangkan di situ kata-katayang sulit (asing), tinjauan-tinjauan bahasa, serta berbagai hal penting lainnyayang tidak ditemukan dalamkitab lainnya. Belum pernah saya menemukan pembahasan kitab fiqih sebagus kitab tersebut, sekalipun kitab tersebut masih perlu banyak penambahan dan penyempurnaan”. Walaupun karya-karya beliausangat banyak, namun umurbeliau cukup muda. Beliau hidup hanya sampai umur empat puluh lima tahun. Beliau lahir pada tahun 631H dan wafat pada tahun 676H. Adapun Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau adalah seorang imam yang masyhur dengan karya-karyanya yang banyak. Karya beliau yang terpenting adalah kitab Fathul Bari yang merupakankitab syarah (penjelasan) dari kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab tersebut menjadi kitab rujukan yang penting bagi para ulama. Kitab-kitab beliau yang lain adalah Al-Ishabah, Tahdzib At Tahdzib, Taqrib At Tahdzib, Lisan Al Mizan, Ta’jil Al Manfa’ah, BulughulMaram, dan lain-lain. Di antara ulama dewasa ini (yang tergelincir dalam kesalahan) adalah Syaikh Al’Alamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani ; Beliau adalah seorang pakar hadits. Tak ada seorang pun yang menandingi beliau dalam halperhatiannya terhadap ilmu hadits. Beliau terjatuh dalam kesalahan dalam beberapa perkara menurut kebanyakan ulama. Di antara kesalahan beliau adalah pendapatnya dalam masalah hijab. Beliau berpendapat bahwa menutupwajah bagi wanita bukanlah sauatu kewajiban, tetapi sunnah saja. Dalam perkara ini, kalau pun yang beliau katakana benar, akan tetapi kebenaran tersebut dikatagorikan sebagai kebenaran yang selayaknya disembunyikan [Sebagai bandingan, dalam kitabnya yang berjudul Jilbab Mar'ah Muslimah Penerbit Dar As-Salam Tahun 2002 pada halaman 27. Syaikh Al-Bani membantah orang-orang yang berpendapat seperti itu. Beliau mengatakan bahwa hukum syar'i yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah tidak boleh disembunyikan dengan alasan nanti akan terjadi kerusakan zaman atau alasan lainnya. Beliau tunjukkan di sana dalil-dalil yang mendasarinya. –ed.], karena akibatnya akan banyaka wanita yang meremehkan masalah menutup wajah. Begitu pula perkataan beliau dalam kitabShifat Shalat Nabi, “Sesungguhnya meletakkan kedua tangan di atas dada pada saat I’tidal (berdiris setelah bangkit dari ruku’) adalah termasuk bid’ah yang sesat”, padahal masalah tersebut termasuk permasalahan yang diperselisihkan. Begitu pula perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab Silsilah Adh-Dhaifah hadits no. 2355 bahwa tidak memotong jenggot yang melebihi satu genggaman adalah termasuk bid’ah idhafiyah. Begitu pula pendapat beliau yang mengharamkan emas melingkar bagi seorang wanita [Sebagai perbandingan dalam kitab Adab Az-Zifaf Penerbita DarAs-Salam cetakan Pertama halaman 222 dst, Syaikh Al-Abani mengharamkan wanita memakai perhiasan emas melingkar dan membantah orang-orang yang menghalalkannya. –ed.]. Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, “Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yangmemiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu” Para salaf yang lain berkata,“Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia adalah seorang ‘alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)” [Lihat Jami’ Bayan Fadhli Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr (II/48). Abdullah bin Al Mubaraak (wafat 181H) berkata,”Apabila kebaikan seorang lebih menonjol daripada kejelekannya maka kejelekannya tidak perlu disebutkan. Sebaliknya, apabila kejelekan seseorang lebih menonjol daripada kebaikannya maka kebaikannya tidak perlu disebutkan” [Lihat kitab Siyar ‘Alam An Nubala karya Adz-Dzahabi VIII/352 cetakan pertama] Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, “Tidak ada seorangpun yang melewati jembatan (keluar) dari Khirasan seperti Ishak bin Ruhawaih, meskipun beliau berselisih dengan kami dalam banyak hal. Manusia memang akan senantiasa saling berbeda pendapat” [Lihat kitab Siyar A’lam An-Nubala’ XI/371] Abu Hatim ibnu Hibban (wafat 354H) berkata, “Abdul Malik –yaitu anak dari Abu Sulaiman- adalah termasuk penduduk Kuffah yang terbaik dan termasuk seorang penghafal hadits. Akan tetapi, orang-orang yang menghafal dan meriwayatkan hadits darinya biasanya akan salah.Termasuk tindakan yang tidak adil meninggalkan seluruh hadits dari seorang syaikh yang kokoh hapalannya dan telah jelas kejujurannya, hanya dikarenakan beberapa kesalahannya dalam meriwayatkan hadits. Kalau kita menempuh cara seperti ini, maka konsekwensinya adalah kita akan meninggalkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, Ibnu Juraij, Ats Tsauri, dan Syu’bah. Hal inikarena meskipun mereka adalah para penghafal haditsyang kokoh hapalannya, yang meriwayatkan hadits dari hafalan mereka, akan tetapi mereka bukanlah orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) sehingga maungkin saja mereka terjatuh dalam kesalahan. Jadi, tindakan yang tepat adalah bahwa seorang yang kuat hafalannya (selagi periwayatannya benar) kita terima riwayatnya dan kalauperiwayatannya salah kita tinggalkan. Ini apabila secara keseluruhan kesalahan mereka tidak mendominasi. Apabila kesalahan mereka lebih mendominasi, maka dalam keadaan seperti itu periwayatan mereka kita tinggalkan” [Lihat kitab AtsTsiqat VII/97-98] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728H) berkata, “perlu diketahui bahwa kelompok-kelompok yang menisbatkan kepada figure-figur tertentu dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan juga kelompok ahli kalam, mereka terdiri dari beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyelisihi sunnah pada masalah yang sangat prinsipil dan ada juga yang menyelisihi sunnah pada persoalan samar (sulit diketahui benar tidaknya). Bila ada dari mereka yang membantah kebatilan kelompok lainnya yang lebihmenyimpang dari sunnah, maka kita puji bantahan mereka dan kebenaran yang mereka ucapkan. Akan tetapi, sayang, terkadang mereka melampui batas dalam menyampaikan bantahan tersebut. Terkadang dalam bantahan tersebut mereka menyalahi kebenaran dan mengatakan hal-hal yang batil. Terkadang mereka membantah bid’ah yang besar dengan bid’ah yang lebih ringan ; membantah kebatilan dengan kebatilan yang lebih ringan. Ini seringkita jumpai di kalangan ahli kalam yang menisbatkan dirimereka kepada Ahlussunnahwal Jama’ah. Orang-orang seperti mereka itu, meskipun perbuatan bid’ahnya tidak membuat mereka keluar dari jama’ah kaum muslimin, tetapi karena bid’ah tersebut mereka jadikan dasar salingloyal dan saling memusuhi, maka tetap saja perkara tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan. Akan tetapi, Allah mengampuni orang-orang mu’min yang melakukan kesalahan sepertiini. Banyak para Salaf dan para imam yang terjatuh pada kesalahan yang semacam itu. Mereka lontarkan perkataan-perkataan berdasarkan ijtihad mereka yang ternayat bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, tindakan para Salaf tadi berbeda dengan orang-orang yang mau loyal terhadap orang-orang yang menyetujui pendapatnya, sementara memusuhi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya, serta memecah belah jama’ah kaum muslimin, mengkafirkan dan memberi cap fasiq ; bahkan menghalalkan jiwa orang-orang yang menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang didasarkan pada pendapat dan ijtihad.Mereka ini adalah kelompok yang suka memecah belah dan senang bertengkar” [Lihat kitab Majmu ‘Al-Fatawa III/348-349] Beliau berkata pada halamanlain (XIX/191-192) , “Banyak para ulama ahli ijtihad yang Salaf maupun khalaf, mereka mengatakan sebuah perkataan atau melakukan perbuatan yang termasuk kebid’ahan sementara mereka tidak mengetahui bahwa perkara tersebut adalah bid’ah. Hal itu dikarenakan beberapa sebab, di antaranya karena mereka menetapkan shahih sebuah hadits padahal dha’if, atau dikarenakan pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ada kalanya hal itu juga dikarenakan merekaijtihad dalam sebuah masalah, padahal dalil-dalil yang menjelaskannya,namundall-dalil tersebut belum sampai kepada mereka. Apabila tindakan mereka itu masih dalam rangka melakukan ketakwaan kepada Allah semampu mereka, maka mereka termasuk dalam firman Allah Ta’ala. “Artinya : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kamu tersalah” [Al-Baqarah: 286] Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah menjawab, “Sungguh, telah Aku lakukan”. Adz-Dzahabi (wafat 748H) mengatakan, “Sesungguhnya seorang ulama besar, apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinyaadalah pencari kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal kepribadiannya yang shalih, wara’ dan berusaha mengikuti sunnah maka kesalahannya dimaafkan. Kita tidak boleh mencap sesat, tidak boleh meninggalkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kita do’akan semoga dia bertaubat dari perkara itu. [Lihat Siyar A’lam An-Nubala V/271] Beliau menambahkan, “Kalau setiap kali seorang ulama (kaum muslimin) salah berijtihad dalam suatupermasalahan yang bisa dimaaflkan kita bid’ahkan dan kita jauhi, maka tidak ada seorang pun yang selamat, apakah itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau orang yang lebih hebat dari keduanya sekalipun. Allah yang memberi petunjuk kebenaran kepada makhlukNya, dan Dia adalahdzat Yang Maha Penyayang. Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan perangai yang kasar” [LihatSiyar A’lam An-Nubala XIV/39-40] Beliau juga berkata, “Kalau setiap orang-orang yang salah berijtihad kita tahdzir dan kita bid’ahkan, padahal kita mengetahui bahwa dia memiliki iman yang benar dan berusaha keras mengikuti kebenaran, maka amat sedikit ulama yang selamat dari tindakan kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia dan kemuliaanNya” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala XIV/376] Beliau menambahkan, “Kamimencintai sunnah dan para pengikutnya. Kami mencintai ulama dikarenakan sikap mereka yang berusaha mengikuti sunnah dan juga sifat-sifat terpuji yang mereka miliki. Sebaliknya, kami membenci perkara-perkara bid’ah yang dilakukan ulama yang biasanya dihasilkan dari penakwilan-penakwilan. Sesungguhnya yang menjadiparameter adalah banyaknyakebaikan yang dimiliki” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala XX/46] Ibnul Qayyim (wafat 751H) berkata, “Mengenal keutamaan, kedudukan, hak-hak dan derajat para ulama Islam, dan mengetahui bahwa keutamaan mereka, ilmu mereka miliki, dan keikhlasan yang mereka lakukan semata-mata karenaAllah dan Rasulullah, tidak mengharuskan kita menerima seluruh perkataanmereka. Begitu juga, apabilaada fatwa-fatwa mereka tentang permasalahan yang belum mereka ketahui dalil-dalinya, kemudian mereka berijtihad sesuai dengan ilmu yang mereka miliki, dan ternyata salah, maka hal itu tidak mengharuskan kita membuang seluruh perkataan mereka atau mengurangi rasa hormat kita, atau bahkan mencela mereka. Dua sikap diatas menyimpang dari sikap yangadil. Sikap yang adil adalah tengah-tengah di antara kedua sikap tersebut. Kita tidak boleh menganggap seseorang selalu dalam kesalahan dan juga tidak boleh menganggapnya sebagai orang yang maksum(terbebas dari kesalahan)” Dia menambahkan, “Barangsiapa yang memilikiilmu tentang syari’at dan kondisi riil masyarakat, maka dia akan mengetahui secara pasti bahwa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang baik untuk Islam, bahkan mungkin seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam, bisa saja melakukan kekeliruan dan kesalahan yang bisa ditolerir, yang malah mendapatkan pahala karena telah berijtihad. Akan tetapi, kesalahan yang dilakukannya tidak boleh kita ikuti, dan dia tidak boleh dijatuhkan kehormatan dan kedudukannya dari hati kaum muslimin” [Lihat kitab I’lam Al-Muwaqqi’in III/295] Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795H) berkata, “Allah Ta’ala enggan memberikan kemaksuman untuk kitab selain kitabNya. Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena banyak kebenaran yang ada padanya” [Lihat kitab Al-Qawa’id hal.3] [Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi AhlissunnahMenyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr, Terbitan Titian Hidayah Ilahi] Akan tetapi, meskipun saya meningkari beberapa pendapat beliau di atas, saya begitu juga yang lainnya, tetap mengambil buku-buku beliau sebagai rujukan. Alangkah bagusnyaperkataan Imam Malik, “Semua orang bisa diambil atau ditolak ucpannya kecuali pemilik kubur ini” Beliau mengisyaratkan ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penjelasan di atas memberikan gambaran bagaimana para ulama memberikan maaf (toleransi) kepada ulama lain yang terjatuh dalam kesalahan. Pemberian ma’aftersebut mereka berikan karena banyak kebenaran yang dimiliki ulama tersebut. [Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi AhlissunnahMenyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Bad, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

22 Jul 2011

WASIAT HASAN BASRI Rohimahullah KEPADA UMAR BIN ABDUL AZIZ Rohimahullah Hasan Basri rohimahullah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz rohimahullah , dan dalam suratnya Hasan Basri berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya tafakkur Itu mengajak pelakunya kepada kebaikan dan mengamalkannya .

8 Jul 2011

[1] Problematika yang timbul dari
keberadaan penganut ajaran
Ahmadiyah di tengah kaum
muslimin tetap saja akan
mencuat. Seiring dengan
agresivitas golongan yang pertama kali muncul di daratan
India itu dalam menyebarluaskan
pemahaman-pemahaman si Nabi
Palsu, antek penjajah Inggris. Sebagian orang meyakini kalau
Ahmadiyah hanya sekedar firqoh
(golongan sempalan) dalam Islam.
Sebuah golongan yang
mempunyai furû (dalam masalah
fikih misalnya) yang berbeda dari golongan lainnya. Tidak ada titik
perbedaan selain ini. Pendapat
demikian ini dipatahkan oleh Syaikh Ihsân Ilâhi Zhâhir rahimahullah. Dalam keterangan
beliau, seorang muslim
hendaknya tahu betapa besar
kesalahan asumsi di atas.
Pasalnya, golongan yang juga
dikenal nama Qadiyaniah tidak mempunyai hubungan apapun
dengan Islam. Hanya saja mereka
mengenakan baju Islam untuk
mengecoh kaum muslimin [2]. Berikut ini 2 (dua) fakta dari
kitab-kitab mereka yang
menguatkan kesimpulan tersebut,
baik tulisan maupun pernyataan
sang Nabi Palsu atau para
penerus aqidah sesatnya. Wallahul Hâdi [3] SEORANG MUSLIM ADALAH
ORANG KAFIR SEBELUM
MEMELUK AGAMA AHMADIYAH Keterangan di atas tidak
mengada-ada. Bila seorang
muslim meninggal, maka tidak
akan disholati oleh Ahmadiyyûn,
juga tidak boleh dikuburkan di
pemakaman mereka. Selain itu pula, pernikahan antara seorang
lelaki yang menganut agama
Islam yang dibawa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan wanita
penganut ajaran Nabi Palsu Mirza Ghulam Ahmad (semoga
memperoleh hukuman setimpal
dari Allah Azza wa Jalla) tidak
boleh terjadi. Karena ia dalam
pandangan ‘Nabi’ Ghulam
Ahmad sudah kafir. Berikut ini penuturan dan pernyataannya:
“Orang yang tidak beriman
kepadaku, berarti ia tidak
beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya”. [4] Putranya yang meneruskan
kedustaan sang ayah, Mahmûd
Ahmad menguatkan: “Seorang
lelaki menemuiku di sebuah
wilayah. Ia menanyakan
mengenai berita yang telah beredar bahwa kalian
mengkafirkan kaum muslimin
yang tidak menganut agama
Ahmadiyah. Apakah itu memang
benar. Maka saya menjawab, Iya.
Tidak diragukan lagi. Kami memang mengkafirkan kalian”.
Maka lelaki tersebut merasa aneh
dan kaget”.[5] Anaknya yang lain, Basyîr Ahmad
dengan tanpa malu-malu
mengatakan: “Setiap orang yang
beriman kepada Musa
Alaihissallam, tapi tidak beriman
kepada Isa Alaihissallam, juga tidak beriman kepada Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka dia kafir. Begitu pula orang
yang tidak beriman kepada
Ghulam Ahmad maka dia kafir
juga, telah keluar dari Islam. Kami tidak mengatakan ini dari
diri kami sendiri. Namun kami
mengutip dari Kitabullah
“Merekalah orang-orang yang
kafir sebenar-benarnya..”(an-
Nisâ/4:151) (Kalimatul Fashl, Basyîr Ahmad bin Nabi Palsu). Di
sini bisa dilihat, bagaimana ia tak
lupa mencatut dan membajak
ayat al-Qur`an untuk kepentingan
golongannya yang lebih pantas
disebut agama baru Ahmadiyah. Putra Ghulam pernah juga
mengutip pernyataan Nuruddin,
pengganti Ghulam yang pertama
(Khalifah Ahmadiyah yang
pertama setelah kebinasaan Nabi
Palsu mereka) : “Sesungguhnya kaum muslimin selain penganut
ajaran Qâdiyaniah (Ahmadiyah)
masuk dalam kandungan firman
Allah Azza wa Jalla : “Merekalah
orang orang yang kafir sebenar-
benarnya”. Kemudian ia membubuhkan catatan (ta’liq)
setelah perkataan di atas,
bunyinya: “Bagaimana mungkin
orang yang mengingkari Musa
Alaihissallam menjadi kafir dan
terlaknat, yang mengingkari Isa Alaihissallam juga kafir,
sementara orang yang
mengingkari Ghulam Ahmad tidak
kafir. Padahal perkataan kaum
mukminin adalah “Kami tidak
membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain)
dari rasulrasul-Nya,” .
Sementara mereka itu
membedakan sikap terhadap
para rasul. Oleh karena itu, orang
yang mengingkari Ghulam Ahmad pasti orang kafir dan masuk
dalam firman Allah : “Merekalah
orang orang yang kafir sebenar-
benarnya” [Kalimatul Fashl,
Basyîr Ahmad hal. 120, 174]. Dalam kitab an-Nubuwwah Fil
Ilhâm, hasil karya salah satu
ulama Ahmadiyah termaktub:
“Sesungguhnya Allah k berkata
kepadanya (Si Nabi Palsu):
“Orang yang mencintai-Ku dan menaati-Ku, wajib atas dirinya
mengikutimu dan beriman
kepadamu. Kalau tidak, ia belum
mencintai-Ku. Bahkan sebaliknya,
ia adalah musuh-Ku. Apabila para
pengingkar menolak ini, atau bahkan mendustakanmu dan
menyakitimu, maka Kami akan
membalas mereka dengan
balasan yang buruk, dan Kami
persiapkan bagi orang-orang
kafir itu Jahannam sebagai penjara bagi mereka”. Lalu
penulis berkomentar mengenai
ilham di atas, bahwa Allah Azza
wa Jalla telah menjelaskan di sini
bahwa orang yang mengingkari
Ghulam adalah orang kafir dan balasannya Jahannam”. [an-
Nubuwwah Wal Ilhâm,
Muhammad Yûsuf al-Qâdiyâni hal.
40]. Demikian cuplikan aqidah mereka
tentang kaum muslimin melalui
tulisan-tulisan sang Nabi palsu,
keturunan dan tokoh agama
mereka. Masih banyak aqidah
buruk mereka yang lain, yang kian menegaskan kesimpulan di
awal tulisan ini bahwa mereka
bukan kaum muslimin lagi. Jadi,
tinggal menunggu keberanian
mereka untuk menyatakan
dengan lantang dan keras bahwa mereka bukan kaum muslimin.
Dengan ini tensi permusuhan
kaum muslimin dengan mereka
(mungkin) sedikitbanyak akan
mereda.[6] TERPAKSA SHALAT DENGAN
KAUM MUSLIMIN KARENA
TAKUT TERBONGKAR JATI
DIRINYA BUKAN MUSLIM Karena vonis kafir yang mereka
arahkan kepada kaum Muslimin,
maka mereka tidak
memperbolehkan sholat di
belakang seorang muslim. Mesti
dipastikan terlebih dahulu bahwa sang imam adalah juga penganut
agama Ahmadiyah, sebelum
mereka ikut serta dalam suatu
sholat jamaah. Seandainya
mereka ikut serta dalam sholat
berjamaah dengan kaum muslimin, itu mereka lakukan
sekedar untuk menutupi topeng
mereka. Lantas mereka akan
mengulangi sholat (ala mereka) di
rumah. Sang Nabi Palsu berkata: “Inilah
(keterangan di atas) adalah
madzhabku yang sudah jelas.
yakni, tidak boleh bagi kalian
untuk sholat di belakang selain
penganut Ahmadiyah. Dalam kondisi apapun, siapapun
imamnya, walaupun nanti
memperoleh pujian dari orang-
orang. Inilah hukum Allah dan
kehendak Allah (?). Orang yang
ragu dan sangsi tentang ini termasuk dalam hitungan kaum
yang mendustakan. Allah ingin
membedakan kalian dari orang
lain [Malfûzhât al- Ghulâm/
pernyataan-pernyataan Ghulam
yang diterbitkan di Majalah al- Hikam milik Ahmadiyah tanggal
10 Desember 1904 M]. Dalam kitab Arbaîn miliknya (hal
34-35), si Nabi palsu berkata:
“Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla telah memberiku berita

30 Jun 2011


Telah menjadi ketentuan Allah bahwa Ia akan menguji setiap hamba-Nya. Tidak ada yang dapat menghalangi Allah untuk melakukannya. Dengan ujian ini, diketahui lah orang-orang yang benar dalam keimanannya dan orang-orang yang dusta dalam keimanannya. Allah berfirman di dalam surat Al Ankabut: 2-3, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?*, dan sungguh telah Kami uji orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta (di dalam keimanannya)” .
Di antara bentuk ujian yang Allah persiapkan untuk hamba-Nya adalah adanya berbagai macam musibah. Allah berfirman, “Dan sungguh akan Kami uji kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwadan buah-buahan . ” [Al Baqarah: 155]
Sabar sebagai solusi
Pembaca yang budiman, adanya musibah yang bertubi-tubi mengguyur negeri yang kita cintai ini menuntut adanya solusi dan jalan keluar, sehingga kita tidak terlampau berduka cita karenanya. Dengan rahmat-Nya, Allah telah memberitahukan kepada kita sebuah solusi dan jalan keluar ketika musibah menghampiri kita. Kesabaran merupakan sikap seorang muslim ketika tertimpa musibah.
Di dalam Al Qur`an, Allah banyak bertutur mengenai sifat sabar. Ia memerintahkan para hamba-Nya untuk bersabar, menerangkan keutamaan sifat sabar, menyebutkan ganjaran bagi para penyabar dan lain-lainnya. Di antaranya Allah berfirman (artinya), ”Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (dalam kesabaran) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung” . [Ali ‘Imran: 120].
Bahkan, pada ayat yang lain Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk bersabar. Allah berfirman (artinya), “Bersabarlah (wahai Nabi) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolonganAllah….” [An Nahl: 127].
Dan sebagai bentuk keutamaan sifat sabar ini, “Allah telah menyebutkan sifat sabar di 90 tempat di dalam kitab-Nya” kataImam Ahmad. Hal ini tentunya menunjukan pentingnya sifat  sabar dan keutamaannya.
Rasulullah juga bersabda,
عَجَباً لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أِصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sungguh menakjubkan perkara seorang muslim, apabila ia mendapatkan kenikmatan maka ia bersyukur dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Danapabila ia tertimpa suatu musibahia pun bersabar dan itu pun merupakan suatu kebaikan baginya” [H.R. Muslim dari sahabat Shuhaib Ar-Rumy]. Beliau juga bersabda,
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصْبِرْهُ اللهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْراً وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
“Barang siapa yang berusaha untuk bersabar, maka Allah akan membuatnya bersabar. Tidaklah seseorang yang diberi dengan suatu pemberian yang lebih berharga dan lebih luas dari pada kesabaran” [H.R. Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudry]. Ayat dan hadits ini menunjukan bahwa sabar termasuk perangai seorang mukmin. Dengan kata lain, seorang mukmin harus memiliki sifat sabar. Oleh karena itulah, para ulama juga menegaskan bahwa sabar termasuk dari keimanan.
Lebih jauh, marilah kita simak ucapan para generasi terbaik umat ini mengenai sifat sabar ini. ‘Umar bin Al-Khatthab mengatakan, “ Kami mendapati kehidupan terbaik kami dengan kesabaran”.
‘Ali bin Abi Thalib juga berkata, “Kedudukan sabar di dalam keimanan bagaikan kedudukan kepala bagi jasad.” Kemudian beliau mengangkat suaranya seraya mengatakan, “Ketahuilah!! Sesungguhnya tidak ada keimanan bagi siapa pun yang tidak memiliki kesabaran”.
Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, seorangulama dan penguasa yang sholeh, berkata, “Barang siapa yang diberi oleh Allah suatu nikmat akan tetapi kemudian Allah cabut nikmat tersebut, namun Allah ganti dengan sifat sabar, melainkan apa yang Allah ganti tersebut lebih baik daripada apa yang Ia cabut (yakni kesabaran tersebut lebih baik daripada nikmat yang Allah ambil) ”. Inilahbeberapa untaian perkataan para ulama yang berkaitan dengan keutamaaan sifat sabar.
Hakekat sabar dan pengertiannya
Secara bahasa sabar bermakna menahan. Yakni, menahan jiwa kita dari terlampau bersedih atau bermuram durja, menahan lisan dari berkeluh kesah dan menahan anggota badan dari melakukan hal-hal yang Allah larang.
Memang, bersedih ketika tertimpamusibah merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, menjadi terlarang jika kemudian menyebabkannya melakukan apa-apa yang kita sebutkan tadi. Ia terlampau bersedih sehingga terus menerus dalam kesedihan atau bahkan menjadi sesorang yang putus asa dari rahmat-Nya, sehingga ia menjadi seperti yang sering digambarkan “mati seganhidup tak mau”.
Berkeluh kesah dalam artian ia terus mengucapkan hal-hal yang semestinya tidak boleh ia katakan. Seperti mencela diri sendiri dan terus menyalahkannya. Atau bahkan - na’udzubillah- ia mencela takdir dan tidak terima dengannya. Ia menganggap Allah telah berbuat tidak adil padanya. Menampar pipi, mengoyak pakaian, dan mengacak-acak rambut juga sebagian contoh hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan-perbuatan ini teramat sering terjadi ketika seseorang meratapi mayit.
Perhatikanlah sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam (artinya), “Bukan termasuk dari golongan kami siapapun yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyah ” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Allah  melaknat para wanita yang menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian dan berseru dengan seruan kecelakaan dan kebinasaan ”. [H.R. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani].
Bahkan Rasulullah bersabda, “Apabila wanita yang meratapi mayit itu tidak bertaubat dari perbuatannya, maka ia akan dibangkitkan di hari kiamat dalamkeadaan ia mengenakan pakaian dari tembaga yang meleleh dan gaun dari penyakit kudis .” [H.R. Muslim].
Macam-macam sabar
Para pembaca yang mulia, para ulama telah menerangkan bahwa sabar itu ada tiga macam:
Sabar ketika tertimpa musibah -hal ini telah lalu penjelasannya -,
Sabar ketika melakukan ketaatan, dan
Sabar ketika menjauhi larangan.
Telah kita ketahui bersama bahwaiblis dan bala tentaranya tidak akan pernah diam untuk menggelincirkan anak Adam. Godaan mereka akan semakin besar ketika mereka tahu para manusia tenggelam di dalam ketaatan kepada-Nya. Berbagai macam cara dan srategi akan ia kerahkan demi tercapainya ambisijahat yang ia idam-idamkan. Seseorang yang bertakwa kepada Allah yang senantiasa berusaha taat dan patuh terhadap titah Rabbdan Rasul-Nya, pastilah harus menyiapkan bekal kesabaran yangbesar untuk menahan serangan dan gempuran iblis dan bala tentaranya. Semakin ia mendekat kepada Allah, semakin besar pula kesabaran yang harus ia miliki.
Para rasul, sebagai manusia terbaik di dalam ketaqwaan dan ketaatan pun tak lepas dari gangguan-gangguannya. Dan kisah-kisah mereka telah kita ketahui. Cobaan dan rintangan tidak membuat mereka goyah untuk tetap melaksanakan beban yang telah dipikulkan untuk mereka. Begitu pula orang-orang yang berusaha meniti jalan para Rasul. Mereka pun tak lepas dari gangguan Iblis dan bala tentaranya. Semakin mereka berusaha meniti dan mengikuti jalan para Rasul, semakin besar pula ujian yang menantangnya. Jika begitu, kesabaran mutlak dibutuhkan di dalam setiap keadaan. Allah lah tempat meminta tolong.
Perhatikanlah sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam (artinya), “Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian yang serupa dengan mereka, kemudian yang serupa dengan mereka. Setiap manusia akan diuji sesuai kadar keimanannya. Apabila ia memiliki keteguhan di dalam agamanya, maka ujiannya akan semakin berat. Begitu pula kalau ia memiliki kelembekan di dalam keimanannya,maka ia akan diuji sesuai dengan kadar keimanannya. Senantiasa ujian bertubi-tubi menimpa seorang hamba, sampai ujian meninggalkannya berjalan di muka bumi ini dan tidak ada sedikit pun dosa yang tersisa padanya” [H.R. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan yang lainnyadan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani].
Ganjaran bagi para penyabar
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa kesabaran merupakan sikap terpuji yang seharusnya dimiliki setiap muslim. Sabar juga membutuhkanusaha yang berat untuk merealisasikannya. Karena itulah, Allah telah menyediakan pahala yang besar bagi para penyabar. Allah berfirman, “Sesungguhnya hanya para penyabarlah yang pahala mereka akan diberikan tanpa batas.” [Q.S. Az-Zumar:10].
Di ayat yang lain Allah mengabarkan ganjaran bagi para penyabar, “ Mereka itulah yang mendapat shalawat dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapatpetunjuk.” [Q.S. Al Baqarah: 157].
Inilah beberapa ganjaran dan pahala yang Allah persiapkan bagi hamba-Nya yang bersabar. Lantas,apakah kita sudah termasuk orang yang bersabar?
Sedikit renungan
Para pembaca yang mulia, ketika musibah menimpa kita, hendaknya kita benar-benar waspada jangan sampai kita berucap dengan perkataan yang membuat Allah murka kepada kitadan menghilangkan pahala yang Ia persiapkan. Allah Maha Adil danMaha Bijaksana. Segala yang dilakukan oleh Allah pasti dilakukan di atas hikmah. Allah berhak untuk memberi dan mengambil kembali segala milik-Nya. Allah tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-Nya akan tetapi para makhluk lah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Hendaknya orang yang tertimpa musibah menyadari bahwa kesedihannya tidak akan menyingkirkan atau merubah apa yang telah terjadi. Atau bahkan akan semakin bertambah musibahnya. Kesedihannya yang begitu mendalam telah membuat Allah murka, para syaithan bersorak-sorai, amalan-amalannya gugur, dan melemahkan diri sendiri. Semua ini juga musibah, justru ini merupakan musibah yang lebih besar. Kalau begitu, ini namanya membangun banyak musibah di atas satu musibah yang menimpanya. Hendaknya ia juga tahu bahwa meskipun kesedihannya telah mencapai puncak akhirnya ia harus bersabarpula. Hal ini tidak akan mengubah apapun kecuali menambah kemurkaan jika ditambah dengan melakukan apa yang Allah larang. Tentulah ini bukan perbuatan terpuji.
Rasulullah bersabda, “ Kesabaranyang hakiki itu adalah yang berada ketika pertama terjadinya musibah ” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Datangnya musibah secara tiba-tiba, memang dapat menyebabkan kesedihan yang menggoncang. Apabila ia bersabarpada kali pertama terjadinya musibah, maka kedahsyatan dan kekuatan musibah itu akan hilang dan lebur sehingga ia akan mudahuntuk bersabar pada hal-hal yang selanjutnya.
Dahulu para ulama mengatakan, “ Kalau kamu bersabar, berarti engkau hanya tertimpa satu musibah. Kalau kamu tidak bersabar, berarti kamu tertimpa dua musibah ”.
Seorang yang arif akan menjadikan musibah yang menimpanya sebagai ladang untuk menuai banyak pahala. Dengan musibah tersebut ia berkesempatan untuk bersabar, mengucapkan istirja’ ( innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un ), dan ibadah lain yang terkadang tidak kita bayangkan. Yang mana ini tergantung pada tingkatan ilmuyang ia punyai. Maka, marilah kitajadikan musibah ini sebagai ladang pahala dan cambukan untuk memperbaiki diri-diri kita.
Walillahil hamdu ‘ala kulli hal wallohu a’lam bish showab.



Marah adalah satu hal yang tidak bisa lepas dari seorang insan. Perangai ini bisa menjadi sebuah perangai yang buruk apabila tidak terbimbing dengan benar. Namun sebaliknya, bisa jadi marah ini menjadi sebuah ibadah besar bila kita meletakkannya sesuai dengan tempatnya. Oleh karena itu, Allah memberikan petunjuk bagaimana seharusnya seorang insan menyikapi sifatnya ini. Barangsiapa mengikuti petunjuk ini, niscaya dia tidak akan tersesat. Di sisi lain, kebaikan, pahala, dan ganjaran akan dia tuaibaik di alam dunia ataupun di akhirat kelak.
Allah berfirman tatkala menyebutkan sifat orang-orang yang diberi janji surga (yang artinya) “ … dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang … ” [Q.S. Âli ‘Îmrân:134].
Simaklah pula sebuah sabda Nabi ketika mendefinisikan kata ‘kekuatan’ “Bukanlah orang yang kuat itu orang yang kuat dalam bergulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya ketika marah .” [ H.R. Al-Bukhârî dan Muslim]
Beberapa Kiat Menyikapi Kemarahan
Para pembaca yang budiman, selain memberikan anjuran untuk menjaga hati dari kemarahan, Allah dan Rasul-Nya juga memberikan pedoman bagi umat Islam ini kiat-kiat untuk menaklukan kemarahan yang menerpa hati. Berikut ini beberapa kiat yang terambil dari Al-Qur`ân dan hadits untuk menenangkan hati yang sedang tertimpa kemarahan:
1. Ber- ta’awwudz (meminta perlindungan) kepada Allah I dari syaithan.
Kemarahan merupakan perkara yang sangat disukai syaithan. Dengan sebab marah ini, seseorang bisa kalap hingga membunuh jiwa manusia yang tidak boleh ditumpahkan darahnya, ataupun bahaya-bahayalain yang merupakan buntut dari perangai ini. Karenanya, Allah dan Rasul-Nya memberikan bimbinganuntuk berlindung dari syaithan saat marah ini melanda.
Allah telah berfirman di dalam Al-Qur`ân:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (٣٦)
“ Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. ” [Q.S. Fushshilat:36].
Rasulullah r bersabda:
إِذَا غَضِبَ الرَّجُلُ فَقَالَ: أَعُوْذُ بِاللهِ سَكَنَ غَضَبُهُ
“Apabila marah kemudian berkata ‘ a’ûdzubillâh ’ maka ia akan tenang dari kemarahannya.” [H.R. Ibnu ‘Adi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.1376]
2. Sikap Al-Ĥilm .
Sikap ĥilm adalah sikap pertengahan antara sikap marah dan sikap masa bodoh. Seseorang yang mengikuti kemarahannya tanpa akal dan kesabarannya ia telah mengikuti sikap yang rendahan. Demikian juga sebaliknya, jika ia ridha dengan penganiayaan dan hancurnya keadaan dirinya, ia berada dalam kerendahan pula.
Alhasil, sikap ĥilm ini akan mencegah kita terjatuh dalam dualembah kerendahan ini. Sikap ĥilm juga akan mewariskan sikap tenang ketika marah, sehingga diabisa berfikir jernih kendati marah menerpanya.
Rasulullah r bersabda kepada Asyaj ‘Abdul Qais yang maknanya,
إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ
“Sesungguhnya dalam dirimu ada dua perkara yang dicintai Allah: ĥilm dan tidak tergesa-gesa.” [H.R. Muslim dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallahu ‘anhumâ ].
3. Sikap sabar dan memaafkan.
Allah I telah berfirman:
خُذِ الْعَفْوَوَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (١٩٩)
“ Maafkanlah dan perintahkanlah kepada yang baik serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. ” [Q.S. Al-A’râf:199].
Allah I juga berfirman:
وَلا تَسْتَوِيالْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَأَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (٣٤)
“ Balaslah dengan yang lebih baik , maka tiba-tiba orang yang mulanya ada permusuhan antara dirimu dan dia menjadi seorang kawan yang dekat. ”[Q.S. Fushshilat:34].
Allah I berfirman yang artinya, “ Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada . Apa kalian tidak ingin Allah memaafkan kalian? Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. ” [Q.S. An-Nûr:22].
Marilah kita tengok sebuah teladan dari Rasulullah r. Simaklahpenuturan Ibnu Mas’ûd t, beliau mengatakan, “Seakan-akan aku melihat Nabi r menghikayatkan salah seorang dari para nabi. Kaumnya memukul beliau hingga beliau berdarah, namun beliau mengusap darahdari wajahnya dan berkata, ‘Ya Allah! Ampunilah kaumkukarena mereka kaum yang tidak mengetahui.’ ” Mutaffaq ‘alaih .
4. Duduk jika sedang berdiri dan berbaring jika sedang duduk.
Rasulullah r bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ
“Apabila salah seorang dari kalian marah dan dia sedang berdiri, maka duduklah . Jika dengan hal itu bisa meredakannya, maka itulah [yang dimaukan]. Namun, apabila hal itubelum bisa meredakannya, maka berbaringlah .” [H.R. Abû Dâwûd dan Aĥmad, dishahihkan oleh Al-Albani].
Sikap Marah Kala Terjadi Pelanggaran Dalam Agama Allah
Telah kita singgung sebelumnya bahwa kemarahan yang diletakkan pada tempat yang benar akan membawa pemiliknya kepada ridha Allah. Maka, seorangmuslim yang baik tidak hanya menahan amarahnya, namun dia juga menempatkan sesuai porsinya agar mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Rabbnya.
Perlu diketahui, perasaan benci karena Allah merupakan tolak ukur keimanan seseorang. Rasulullah r bersabda (yang artinya), “Tali keimanan yang paling kuat: cinta karena Allah dan benci karena Allah.” [H.R. Ath-Thabarani dari Ibnu Mas’ûd t, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan, “Shahih” dalam Shaĥîĥ At-Targhîb wat Tarhîb ].
Hal ini juga ditegaskan oleh para shahabat beliau. Di antaranya adalah Ibnu ‘Abbâs radhiyallahu ‘anhumâ , beliau mengatakan, “Barangsiapa mencintai karena Allah, benci karena Allah, berloyalitas karena Allah, bermusuhan karena Allah [maka dia telah mendapatkan kewalian]; kewalian Allah (yaitu pertolongan, bantuan, kecintaan, dll) hanya akan didapat melalui perkara ini. Seorang hamba tidak akan merasakan manisnya rasa iman -meski banyak shalat dan puasanya- hingga dia menjadi seperti hal ini.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr Ath-Thabari dalam tafsir beliau].
Dengan dasar kebencian karena Allah inilah, Rasulullah r, para shahabat beliau, serta para pengikut mereka tidak meninggalkan sikap marah secaramutlak. Marilah kita tengok sebuah kisah yang terjadi sewaktuRasulullah r masih hidup. Ketika itu seorang sahabat yang mulia, Abû Dzarr t, memanggil seseorang, “Wahai anak dari perempuan hitam!” katanya. Rasulullah r pun mengingkari panggilan Jahiliyah ini dan menegurnya dengan keras, “ Apaengkau mencacatnya dengan sebab ibunya?! Sungguh, engkauadalah orang yang memiliki sifat Jahiliyah.”
Contoh lain, dengarlah apa yang dituturkan oleh Abû Wâqid Al-Laitsi, sebuah kisah yang termaktub di dalam Sunan At-Tirmidzi, Musnad Aĥmad, serta kitab-kitab hadits yang lainnya, bahwasanya ketika Rasulullah r berjihad menuju Ĥunain, mereka melalui sebuah pohon milik kaum musyrikin yang disebut “Dzâtu Anwâth”, orang musyrik biasa menggantungkan senjata mereka untuk mencari barokah darinya, selain itu mereka juga biasa beri’tikaf (baca: semedi) di sana. Sebagian dari kaum muslimin yang baru saja masuk Islam pun mengatakan, “Wahai Rasulullah. Buatkanlah untuk kamiDzâtu Anwâth sebagaimana mereka juga memiliki Dzâtu Anwâth.” Rasulullah r tidak kemudian mendiamkan kemungkaran besar ini karenamemaklumi bahwa mereka iniadalah orang yang baru saja masuk Islam, beliau justru mengatakan (artinya), “Subĥânallâh!! Demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya!! Kalian mengatakan seperti ucapan Bani Israil kepada Mûsâ, ‘ Jadikanlah bagi kami sebuah sesembahan, sebagaimana mereka memiliki banyak sesembahan. ’ [Q.S. Al-A’râf:138]!!! ” [Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan “Shahih” di dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi ].
Simak pula apa yang diriwayatkanoleh Al-Imam Muslim dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhumâ , beliau menceritakan bahwasanya suatu siang Rasulullah r mendengar dua orang bertikai mengenai suatu ayat dalam Al-Qur`ân, Rasulullah r pun keluar dan nampak raut kemarahan pada wajahnya , sembari mengatakan yang maknanya, “Sesungguhnya kaumsebelum kalian binasa karena perselisihan mereka mengenai kitab suci mereka.”
Adapun contoh dari para shahabat,maka silakan cermati ketika ‘Abdullah bin ‘Abbâs radhiyallahu ‘anhumâ mendapati ucapan seseorang lebihdidahulukan daripada sabda Rasulullah r, beliau pun murka, “ Hampir-hampir turun kepada kalian hujan batu dari langit!! Aku katakan, ‘Rasulullah r bersabda…’ namun kalian [menentangnya dengan] mengucapkan, ‘Abû Bakr dan‘Umar mengatakan demikiandan demikian’ ?! ” [Riwayat ‘Abdurrazzâq dalam Al-Mushannaf]
Demikianlah saudaraku, betapa indahnya keadaan seseorang yang berhias dengan aturan syariat. Dia akan senantiasa berhias dengan kebaikan dalam perkara apapun. Allahu a’lam bish shawâb .

Oleh: Abu Muhammad Farhan
Hiruk pikuk kehidupan dunia dengan ketatnya kompetisi di segala bidang banyak menjadikan manusia lupa atau pura-pura lupa aturan. Yang kuat memakan yang lemah, yang kaya ingin mendapatkan segalanya, yang lain berusaha menjatuhkan, dan begitu seterusnya. Kondisi seperti ini sangat membentuk tabiat manusia menjadi orang-orang yang buas dan menghalalkan segala cara apabila tidak berbekal dengan ketakwaan kepada Allah ta’ala .
Pembaca, syariat Islam yang mulia telah menjelaskan sikap tepat bagi seorang muslim dalam menghadapi fenomena yang menyedihkan ini. Marilah kita simak bersama bagaimana Islam memberikan solusi sekaligus proteksi dari kebuasan nafsu yangbanyak melanda umat.
Tundukkan Pandangan dari Dunia
Dunia merupakan kenikmatan yang menipu. Betapa banyak manusia terjerembab ke dalam jebakannya yang membinasakan. Tak jarang kita jumpai manusia berkubang di dalam lumpur dosa tak lain beralasan mengejar dunia. Maka, syariat ini memberikan dorongan kepada umatnya untuk tidak mengumbar pandangannya terhadap dunia ini. Yang mana, terlalu banyak melihatdunia dengan pandangan takjub merupakan salah satu sebab tamaknya seseorang terhadap dunia.
Marilah kita perhatikan bahwa Allah Yang Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana telah memerintahkan Nabi-Nya untuk bersabar bersama orang-orang yang senantiasa berdoa kepada Rabbnya dan tidak menoleh kepada perhiasan dunia ini. Allah ta’ala berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (٢٨)
“Dan sabarkanlah dirimu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabb merekadi pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikutiorang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” [Q.S. al Kahfi : 28]
Hal ini juga terkandung di dalam firman-Nya pula:
وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى (١٣١)
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Rabb kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” [Q.S. Thaha :131]
Dalam ayat ini Allah perintahkan rasul-Nya secara khusus dan seluruh kaum muslimin secara umum untuk tidak tergiur, terlena,dan tenggelam dalam kehidupan dunia yang menyebabkan lalai dari kampung akhirat.
Bahkan, dalam ayat lain Allah ta’ala mencela mereka yang mementingkan kehidupan dunia dan lupa terhadap akhiratnya:
كَلا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ (٢٠) وَتَذَرُونَ الآخِرَةَ (٢١)
“Sekali-kali janganlah demikian, sebenarnya kalian (hai manusia) mencintai kehidupan dunia.*. Dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.” [Q.S. al-Qiyamah 20-21].
Inilah bimbingan dari Allah ta’ala yang Maha Mengetahui maslahat makhluk-Nya  dan inilah hakekat zuhud.
Apa itu ‘Zuhud’?
Pembaca sekalian -semoga Allah ta’ala merahmati kita semua-, lalu apakah sebenarnya zuhud itu?Apakah zuhud berarti meninggalkan dunia ini sama sekali, memakai pakaian yang jelek dan compang-camping sebagaimana dimaknakan oleh sebagian orang-orang sufi?
Ibnu Manzhur di dalam kitab beliau, Lisanul ‘Arab menerangkan bahwa zuhud adalah kebalikan dari mencintai dunia dan tamak terhadapnya.
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah , beliau mengatakan bahwa maksud dari zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat .
Sehingga, orang yang zuhud tidak berarti miskin, tidak bekerja, ataubahkan menelantarkan keluarganya. Tetapi mereka yang mampu meninggalkan perkara-perkara duniawi yang tidak bermanfaat di akhirat.
Dunia adalah ujian
Di antara yang harus diingat agar kita berhati-hati dan dan tidak larut dalam persaingan dunia ini, kemudian lupa terhadap akhirat adalah kita harus tahu bahwa dunia ini adalah ujian semata dan keindahan yang menipu. Allah ta’ala jadikan dunia ini untuk menguji para hamba-Nya, siapa yang paling baik amalannya. Kemudian, dengan rahmat dan keutamaan-Nya, mereka berhak mendapatkan surga-Nya;
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الأرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلا (٧)
“ Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. ” [Q.S. al-Kahfi:7].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِى النِّسَاءِ
“ Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan Allah menjadikan kalian silih berganti di atasnya untuk melihat bagaimana amalan kalian, maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan dunia dan wanita. Karena, fitnah pertama Bani Israil adalah pada wanita .” [H.R. Muslim dari Abu Sa’id radhiyallahu ’anhu ].
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dunia sebagai sesuatu yang manis dan hijau. Artinya, dunia ini enak, indah, lagi menggiurkan orang yang berada di atasnya. Allah ta’ala telah menjadikannya sebagai ujian bagi manusia, bagaimana mereka beramal dan bagaimana mereka bersikap terhadap dunia tersebut. Ketika mereka mengambil dengancara yang benar, menyalurkan pada hal kebajikan, dan mereka zuhud dari perkara-perkara yang bermudharat di akhirat, maka mereka lah yang beruntung.
Ayat lain yang mengemukakan hakekat dunia adalah firman Allah ta’ala :
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الأمْوَالِ وَالأوْلادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ (٢٠)
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia inihanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah di antara kalian serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Layaknya hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan engkau melihatnya menguning kemudian menjadi hancur. Sedang di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu .’ [Q.S. al-Hadid:20]
Demikianlah, Allah menyebutkan bahwa tidaklah dunia ini kecuali permainan yang menipu. Sehinggaorang yang cerdas -setelah Allah beri taufiq padanya- adalah orang yang mengerti hakekatnya dan menyikapinya sebagaimana mestinya.
Dunia = rendah
Pembaca sekalian -semoga Allah merahmati kita semua- tidak kalah pentingnya untuk kita ketahui agar kita bisa memiliki sifat zuhud adalah kita harus mengetahui pula tentang betapa rendahnya dunia dibandingkan akhirat. Betapa banyak ayat yang menegaskan permasalahan ini, bukankah kita sering mendengar firman-Nya
وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (١٧)
“ Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal .” [Q.S. Al A’la: 17]
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali menerangkan hal tersebut di dalam haditsnya. Di antaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Al-Mustaurid radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah bersabda, “ Tidaklah dunia dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti salah seorang di antara kalian yang memasukan jarinya ini ke dalam samudera -Yahya bin Yahya, salah seorang penyampai hadits mengisyaratkan dengan jari telunjuknya- maka lihatlah air yang menempel pada jarinya ’.
Jabir bin Abdilah radhiyallahu ’anhu pernah mengisahkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati suatu pasar dan kaum muslimin berada di kanan kirinya. Ketika itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati bangkai seekor anak kambing yang cacat telinganya. Maka beliau memegang telinganya kemudian bersabda, “Siapa di antara kalian yang maumembelinya dengan satu dirham?” Para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, kita tidak mau membelinya dengan harga sepeser pun. Untuk apa barang ini?” Beliau bersabda, “Lalu apakah ada di antara kalian yang mau diberi dengan cuma-cuma?” Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, seandainya pun anak kambing itu hidup, maka ia kambing yang cacat karena telinganya yang kecil lantas bagaimana lagi sedangkan sekarang ia sudah menjadi bangkai?” [H.R. Muslim].
Subhanallah…! Demikianlah hakekat dunia yang digambarkan oleh teladan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lantas, apakah kita rela mencurahkan seluruh usaha, memeras keringat, membanting tulang, bahkan sampai mengorbankan segala-galanya, menzhalimi saudaranya, dan melanggar aturan-aturan Allah demi suatu yang tidak bernilai bahkan hina dina. Di lain pihak, dia korbankan masa depannya yang lebih kekal dan kenikmatan yang tidak terkira.
Berkaca Dengan Sang Teladan
Cobalah kita sedikit menengok bagaimana keadaan gaya hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , pemimpin seluruh anak Adam. Beliau lah orang yang paling mengerti hakekat dunia dan akhirat, beliau pula orang yang paling mengerti kadar masing-masing, cara menghargainya, dan bagaimana menyikapinya. Dikisahkan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Umar menceritakan sepenggal kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Ketika itu beliau berbaring di atas tikar, aku pun duduk. Beliau pun menurunkan kainnya. Dan beliau tidak memiliki baju selain kain tersebut. Ternyata tikar tersebut telah membekas pada punggung beliau. Aku melihat lemari beliau, di dalamnya hanya ada segenggam tepung seukuran satu sha’ (sekitar 2,5 atau 3 kg),sejenis daun untuk menyamak di pojok ruangan dan selembar kulit yang telah disamak.” Umar melajutkan, “Maka mengalirlah air mataku.” Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai ‘Umar?” Aku menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis wahai Nabi Allah, sedangkan tikar ini telah membekas di punggung Anda. Danlemari ini, aku tidak melihat kecuali apa yang aku lihat. Padahal, raja Romawi dan Persia di sana berada di tengah kebun-kebun buah dan taman-taman mereka. Sementara Anda adalah utusan Allah dan pilihan-Nya dan seperti ini [isi] lemari Anda.” Beliau pun menjawab, “Wahai ‘Umar, tidakkah engkau rela akhirat bagi kita dan bagi mereka dunia!?”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu juga menuturkan di dalamsebuah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah bahwasuatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidur diatas tikar. Ketika bangun, tikar tersebut membekas di punggung beliau. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, maukah kami buatkan kasur untuk Anda?” Beliau menjawab, “Apa urusanku dengan dunia, tidaklah aku di dunia ini kecuali seperti seorang musafir yang  berteduh di bawah sebatang pohon, kemudian beranjak pergi meninggalkannya”.
Allahu akbar! Demikianlah gaya hidup teladan kita, yang Allah sebutkan di dalam firman-Nya:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (٢١)
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah .” [Q.S. al-Ahzab:21].
Lantas, masihkah kita berambisi untuk mengumpulkan sesuatu yang akhirnya akan kita tinggalkan? Tidakkah kita mencontoh suri teladan yang merupakan makhluk terbaik? Marilah kita renungkan hal ini.
Penutup
Pembaca sekalian -semoga Allah merahmati kita semua- kita yang lemah ini mungkin sangat sulit untuk persis mencontoh gaya hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi paling tidak dari uraian di atas cukuplah sebagai motivasi bagi kita untuk tidak larut dalam kehidupan dunia. Kita ambil dunia ini dengan cara yang halal. Dan kita belanjakan pada perkara kebajikan. Orang yang semacam ini niscaya akan mendapatkan kecintaan Allah dan makhluk-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya oleh seseorang mengenai sebuah amalan yang dapat mendatangkankecintaan Allah dan manusia, beliau menjawab, “ Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka akan mencintaimu ” [H.R. Ibnu Majah dari sahabat Sahl bin Sa’d as-Sa’idi radhiyallahu ’anhu dan dihasankan al Albani]
Wallahu a’lam.
Mutiara Hadits
Dari Abu Umamah radhiyallahu ’anhu , beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَفَثَ رُوْحُ الْقُدُسِ فِيْ رَوْعِيْ أَنَّ نفْسًا لَنْ تَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى تَسْتَكْمِلَ أَجَلَهَا، وَتَسْتَوْعِبَ رِزْقَهَا، فَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، وَلا يَحْمِلَنَّكُمِ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ، فَإِنَّ اللهَ لاَ يُنَالُ مَا عِنْدَهُ إِلا بِطَاعَتِهِ
“Ruh al-Qudus (Jibril) membisikkan ke dalam hatiku bahwasanya ruh seseorang tidak akan keluar dari dunia ini hingga sempurna ajalnya dan lengkap rezekinya [yang ditetapkan baginya]. Maka, carilah rezeki dengan baik dan janganlah karenamerasa rezekinya lambat membuat kalian mencarinya dengan memaksiati Allah. Karena, apa yang di sisi Allah tidak didapatkecuali dengan ketaatan kepada-Nya.”
[H.R. Ath-Thabarani, asy-Syaikh al-Albani mengatakan di dalam ShahihulJami’, “Shahih”]
Shalawat Kepada Nabi Segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Rasul kita, Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat. Amma ba’d: Sebagai kaum muslimin, kita tentu sering sekali bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena kita tahu bahwa shalawat adalah salah satu bukti cinta kita kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam , Rasul yang telah membawa sinar Islam, agama keselamatan yang sempuna. Di samping itu, shalawat adalah sebuah ibadah yang mulia. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kaum mukminin untuk bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah Allah sebutkan bahwa Allahdan para malaikat bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٥٦) “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” [Al-Ahzab:56] Arti Shalawat Dan Salam Atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, lantas apa makna shalawat dan salam atas Nabi? Imam Al-Bukhari t menyebutkan di dalam kitab shahih beliau penafsiran seorang ulama tabi’in,Abu ‘Aliyah t, beliau menjelaskan,“Maksud dari shalawat Allah kepada beliau adalah pujian Allah terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan para malaikat. Sedangkanmaksud shalawat malaikat dan yang lainnya kepada beliau adalah mereka memohon kepada Allah agar senantiasa mencurahkan shalawat kepada beliau.” Adapun makna salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam , diterangkan oleh Al-Majd Al-Fairuz Abadi dalam kitab beliau “Ash-Shalaatu wal Busyaru fish Shalati ‘ala Khairil Baysar” , “As-Salam -yang manaini adalah salah satu nama dari nama-nama Allah- atasmu, maksudnya Engkau, wahai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan lepas dari kebaikan dan barakah serta akan selalu selamat dari kecelakaan dan kesengsaraan.Karena, nama Allah ta’ala hanyalah disebutkan kepada sesuatu yang diharapkan terkumpulkan padanya seluruh kebaikan dan barakah serta terlepasnya dari sesuatu kekurangan dan kerusakan. Bisa juga makna as-salam di sini adalahas-salamah (keselamatan), jadi maknanya adalah semoga ketetapan Allah terhadapmu, wahaiNabi, adalah keselamatan, yakni selamat dari celaan dan kekurangan.” Shalawat Yang Paling Afdhal Shalawat yang paling utama dan paling sempurna adalah shalawat yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan sendiri kepada parasahabat ketika mereka bertanya. Dalam hadits-hadits berikut ini kitabisa melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sekedar mengajarkannya, bahkan beliau memerintahkannya. Ini menunjukkan bahwa lafal-lafal tersebut adalah yang paling utama dan sempurna. Karena, beliau tidaklah memilih untuk diri beliau kecuali yang mulia dan sempurna. Demikian penjelasan dari Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari . Sebagian lafal-lafal shalawat yang paling baik adalah shalawat yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan dalam hadits-haditsberikut ini: Dari ‘Abdurrahman bin Abu Laila mengatakan, “Sahabat Ka’b bin ‘Ujrah pernah menemuiku dan mengatakan, maukah engkau kuberi sebuah hadiah yang saya dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”. Saya pun menjawab, “Tentu, berikanlah hadiah tersebut kepadaku.” Ia pun mengatakan, saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, bagaimana bershalawat atas kalian ahlul bait? Sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kita cara mengucapkan salam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, ucapkanlah: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ،إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ،إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkannya kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha TerpujiLagi Maha Mulia. Ya Allah, limpahkanlah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia.” [H.R. Al-Bukhari]. Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, beliau mengatakan, “Kami bertanya kepada Rasulullah `, wahai Rasulullah, [yang Anda ajarkan] ini adalah cara bersalam atasmu, lalu bagaimana kami bershalawat? Beliau pun menjawab, “Ucapkan: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ،وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, hamba dan Rasul-Mu, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim. Dan limpahkanlah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim.” [H.R. Al-Bukhari] Dari Abu Humaid As-Sa’idi z, beliau mengatakan, “Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, bagaimana bershalawat atasmu? Beliau pun menjawab: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِوَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ،وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِوَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ “Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad, istri-istri, dan keturunan beliau, sebagaimana Engkau limpahkan kepada keluargaIbrahim. Dan limpahkanlah barakah kepada Muhammad, istri-istri dan keturunan beliau, sebagaimana Engkau limpahkan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha TerpujiLagi Maha Penyayang.” [H.R. Al-Bukhari]. Ini adalah sebagian shalawat yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam ShahihAl-Bukhari, masih ada shalawat-shalawat lain yang diriwayatkan dari beliau yang belum bisa kami sebutkan. Sebagaimana kita jelaskan di muka, bershalawat dengan lafal-lafal yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih baik daripada shalawat yang lain. Ada satu hal yang patut kita perhatikan dari riwayat di atas. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang lafal shalawat yang benar di dalam hadits-hadits yang lewat, hal ini menunjukkan betapa besarnya semangat mereka untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang mana semangat ini kian memudar dalam barisan kaum muslimin. Kita dapatisebagian muslimin lebih menyukai shalawat-shalawat yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Shalawat Yang Paling Ringkas Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, Imam An-Nawawi mengatakan dalam kitab “Al-Adzkar”, “Apabila kalian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , hendaknya kalian menyebutkan shalawat dan salam sekaligus. Jangan menyebutkan salah satunyasaja, ‘ shallallahu ‘alaihi ’ saja atau ‘ ’alaihis salam ’ saja. Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwasanya lafal shalawat yang paling ringkas hendaknya terdiri dari dua bagian: shalawat dan salam. Janganlah kitamengurangi salah satunya sebagaimana jelas dalam keterangan Imam An-Nawawi di atas. Hal ini sejalan dengan firman Allah ta’ala : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٥٦) “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan salam kepadanya .” [Al-Ahzab:56]. Dua lafal shalawat dan salam yang ringkas dan seringkali kita dengar, yaitu shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ‘alaihish shalatu was salam (semoga shalawat dan salam tercurah kepada beliau) adalah contoh shalawat yang baik karena telah mencakup shalawat dan salam sekaligus. Namun, yang harus kita perhatikan di sini, seringkali orang menyingkat dengan kata ‘saw’ di dalam penulisan. Sebenarnya, bagaimana bimbingan para ulama mengenainya? Banyak ulama yang menganjurkan untuk menghindari penyingkatan shalawat menjadi beberapa huruf-huruf. Di antaranya adalah Imam Ibnu Shalah dalam kitab beliau ‘Ulumul Hadits , beliau mengatakan, “Seyogianya seorang penulis hadits selalu menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut beliau. Janganlah dia bosan mengulang-ulang shalawat ketika mengulang penyebutan beliau. Karena, dalam penulisan shalawat dan salam tersebut terdapat faedah yang besar…” Kemudian beliau melanjutkan, “… Dan hendaknya dalam menulis shalawat menghindari dua hal: ditulis kurangdengan menyingkat menjadi dua huruf dan sejenisnya, atau menulisnya dengan mengurangi makna, seperti tanpa menulis ‘salam’.” Keutamaan shalawat Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, di antara perkara yang menunjukkan bahwa shalawat merupakan amalan yang besar adalah banyaknya keutamaan dan pahala yang dipersiapkan bagi yang melakukannya sebagaimana telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terangkan di dalam hadits-hadits beliau. Di antaranya beliau bersabda: مَنْ صَلَّى عَلَيَّ مِنْ أُمَّتِيْ صَلاَةً مُخْلِصاً مِنْ قَلْبِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَرَفَعَهُ بِهَا عَشْرَ دَرَجَاتٍ وَكَتَبَ لَهُ بِهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَمَحَا عَنْهُ بِهَا عَشْرَ سَيِّئَاتٍ “Siapa saja dari umatku yang bershalawat atasku dengan ikhlas dari dalam hatinya, maka Allah akan memujinya sepuluh kali dan mengangkat derajatnya sepuluh derajat, ditulis dengannya sepuluh kebajikan dan dihapuskan kesalahannya sepuluh kesalahan.” [H.R. An-Nasa`i dari sahabat Abu Burdah, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan, “Derajatnya hasan shahih” di dalam Shahih At-Targhib ]. أَوْلَى النَّاسِ بِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاَةً “Sesungguhnya manusia yang paling dekat padaku pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak mengucapkan shalawat kepadaku.” [H.R. At-Tirmidzi dari sahabat Ibnu Mas’ud, dilemahkanoleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Dha’if At-Tirmidzi , kemudian beliau rujuk dari pelemahannya ini dan mengatakan di dalam Shahih At-Targhib, “Hasan lighairih”]. Di sisi lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang tidak mau bershalawat atas beliau. Beliau bersabda: الْبَخِيلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ ثُمَّ لَمْ يُصِلِّ عَلَيَّ “Orang yang bakhil adalah orang yang aku disebutkan di sisinya namun dia tidak bershalawat kepadaku.” [H.R. At-Tirmidzi dari sahabat Husain bin ‘Ali g dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih At-Targhib ] مَنْ نَسِىَ الصَّلاَةَ عَلَىَّ خَطِئَ طَرِيقَ الْجَنَّةِ “Barangsiapa lupa bershalawat atasku, maka dia telah terlewatkandari salah satu jalan menuju surga.” [H.R. Ibnu Majah dari sahabat Abu Hurairah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]. Penutup Pembaca sekalian, semoga Allah merahmati kita semua, di antara bukti cinta kita terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tunduk patuhnya kita terhadap perintah beliau. Dalam ibadah shalawat ini pula, sepantasnya seorang mukmin mengikuti ajaran beliau, tidak meremehkan amalan ibadah ini dan tidak pula berlebihan dalam bershalawat kepada beliau. Sebagaimana tidak pantas pula kitamenyanjung beliau melebihi kadar beliau sebagai hamba sekaligus Rasul. Karena, beliau tidak menyukai untuk disanjung melebihikadar beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ “Janganlah kalian berlebihan dalam menyanjungku sebagaimanaorang Nasrani berlebihan dalam menyanjung Isa bin Maryam. Saya adalah hamba-Nya. Maka katakanlah saja, ‘Hamba Allah dan rasul-Nya’.” [H.R. Al-Bukharidari ‘Umar bin Al-Khaththab]. Dan hendaknya kita berhati-hati dari shalawat yang banyak tersebar dalam masyarakat. Di mana, sebagian shalawat-shalawatmemiliki kandungan yang terlalu berlebihan dalam memuji beliau. Bahkan, sebagiannya mengandung kesyirikan dengan memberikan sifat-sifat ketuhanan kepada beliauatau menyejajarkan beliau dengan Allah. Sebagai contoh dari keberlebihan ini adalah penggambaran bahwa beliau lah yang mengangkat kesulitan dan mengabulkan hajat, yang mana ini semua adalah hak Allah semata, tidak dimiliki oleh selainnya. Demikian tulisan ringkas ini yang kami sarikan dari kitab “FadhlusShalat ‘alan Nabiy” karya Asy-Syaikh ’Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah . Allahu a’lam . Soal: Apakah hukum berdoa denganselain doa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawab: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan di dalam “Majmu’ Fatawa” (jil.22/hal.510): Alhamdulillah. Tidak diragukan lagibahwa dzikir dan doa termasuk ibadah yang paling bagus. Sedangkan, ibadah dibangun di atas tauqif (berhenti pada apa yangdigariskan oleh dalil) dan ittiba’ (meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), bukan di atas hawa nafsu dan bid’ah. Doa dan dzikir Nabi adalah dzikir dan doa terbaik bagi orang yang mencarinya. Orang yang meniti jalan tersebut berada jalan yang aman dan selamat. Faedah dan hasilnya pun tidak bisa terungkapkan oleh lisan dan tidak bisa pula dikuasai ilmunya oleh seorang insan. Adapun dzikir lainnya, terkadang hal itu haram, terkadang makruh, bahkan terkadang di dalamnya terdapat kesyirikan yang mana mayoritas manusia tidak mengetahui hal tersebut [terlebih lagi bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab], dan hal ini bisa panjang lebar jika dirinci lebih mendalam. Seseorang tidak diperbolehkan untuk membuat ajaran bagi orang lain berupa suatu dzikir dan doa tertentu selain yang diriwayatkan, kemudian menjadikannya sesuatu yang rutin; yang mana orang-orangmelakukannya secara rutin seperti shalat lima waktu. Hal ini adalah membuat ajaran baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah. Berbeda halnya apabila seseorang terkadang berdoa [dengan doa yang tidak diajarkan Nabi] tanpa menjadikannya sebagai ajaran bagimanusia, jika tidak diketahui bahwa di dalamnya terkandung sesuatu keharaman, maka tidak bisa dipastikan haramnya doa dan dzikir tersebut. Akan tetapi, terkadang memang ada keharaman di dalamnya dan orang itu tidak menyadarinya. Hal ini sebagaimana [bolehnya] seseorangyang berdoa dalam keadaan darurat dengan doa yang terlintas di benaknya pada waktu itu [meski doa tersebut tidak diriwayatkan dari Nabi]. Hal ini dan yang semisalnya adalah serupa.” [Disadur dari Majmu' Fatawa].

29 Jun 2011

Manusia Yang Hidup Terus Setelah Matinya!

Oleh: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc
Subhanallah… Ada Manusia Yang Hidup Terus Setelah Matinya!
بسم الله الرحمن الرحيم , الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
Kawan…
Tulisan ini adalah ajakan untuk saya dan kaum muslim, agar menjadi orang berilmu agama, mengamalkannya kemudian mengajarkan dan menyebarkannya…
Kawan…
Mari tuntut ilmu agama, niscaya kamu bisa hidup terus setelah matimu…
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ ».
Artinya: “Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yangdiambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya ” . (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وهذا منْ أعظمِ الادلةِ علَى شرفِ العلمِ وفضلِهِ وعظمِ ثمرتِه فإنَّ ثوابَهُ يَصلُ إلَى الرَّجلِ بعدَ موتِه ما دامَ ينتفعُ بِه فكأنَّه حيٌّ لم يَنقطعْ عملُه معَ مالَهُ مِن حياةِ الذِّكرِ والثناءِ فَجَريان أَجرِه عليهِ إذا انقطَعَ عنِ الناسِ ثوابَ أَعمالِهمْ حياةٌ ثانيةٌ
“Dan ini adalah bukti yang paling besar akan kemuliaan dan keutamaan ilmu serta keagungan hasilnya, karena sesungguhnya pahalanya akan sampai kepada seseorang (yang mengajarkan ilmu) setelah kematiannya selama ilmu tersebut diambil manfaatnya, seakan-akan dia hidup, tidak terputus amalnya bahkan dibarengidengan ingatan dan pujian selalu untuknya, mengalirnya pahala kepadanya disaat seluruh manusia terputus dari mereka amalan mereka adalah merupakan KEHIDUPAN KEDUA ”. (Lihat kitabMiftah Dar As Sa’adah, karya Ibnul Qayyim rahimahullah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِبَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِى صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ ».
Artinya: “Sesungguhnya yang mendapati seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah kematiannya adalah; sebuah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, seorang anak shalih yang dia tinggalkan, sebuah mushhaf Al Quran yang dia wariskan atau sebuah masjid yang dia bangun, sebuah rumah untuk para musafir yang kehabisan bekal yang dia bangun, sebuah sungai yang dia alirkan atau sebuah sedekah yang dia keluarkan dari hartanya ketika disaat sehat dan hidupnya, seluruhnya ini adalah amalan yang akan mendapatinya setelah kematiannya” . (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam shahih Al Jami’)
Mari perhatikan…ternyata semua amalan yang pahalanya akan mengalir kepada seseorang meskipun dia sudah meninggal, kuncinya pada ilmu agama. Subhanallah…!
Kawan…saya yakin… kita bisa berbuat untuk perihal ilmu…
1. Belajar ilmu agama
2. Mengamalkan ilmu agama
3. Mengajarkan dan menyebarkan ilmu agama, walau hanya menyebarkan kaset, cd, brosur, pengumuman kajian Islam bermanfaat, dan semisalnya kepada orang lain.
Selamat berjuang untuk bisa hidup terus setelah kematian menjemput!
يَمُوْتُ الْعَالِمُ وَ يَبْقَى كِتَابُهُ
ORANG BERILMU BOLEH MENINGGAL TETAPI KITABNYA TETAP AKAN TERTINGGAL
Ahmad Zainuddin
Rabu, 20 Rajab 1432H
Dammam, KSA
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!